Kairo: Palemen Mesir akhirnya menyelesaikan draf konstitusi baru untuk negara tersebut, Jumat (30/11).
Setelah dektrit kontroversial Presiden Mohamed Mursi pekan lalu yang memperluas kekuasaannya dan melarang keputusannya ditentang pengunjuk rasa, konstitusi baru diharapkan bisa meredam demontrasi dan tindak kekerasan.
Konstitusi baru itu mencakup 234 pasal, termasuk di dalamnya tentang kekuasaan presiden, status Islam, peran militer, dan batasan hingga sejauh mana hak asasi manusia akan dihormati selepas era Presiden Hosni Mubarak. Draf itu juga menambahkan referensi Islam ke dalam sistem pemerintahan Mesir. Kendati begitu pasal lama yang menyebut prinsip syariah sebagai sumber utama dari perundang-undangan dipertahankan dalam konstitusi baru.
Draf konstitusi itu rencananya diratifikasi Mursi, Sabtu (1/12). Pengesahan konstitusi itu tentu saja secara otomatis membatalkan dektrit kontroversial yang telah diumumkan sebelumnya. Setelah itu, referendum pun bisa segera digelar.
Dalam waktu 15 hari, Presiden Mesir harus mengumumkan dilakukannya pemungutan suara. Sesuai dengan pasal yang ada di konstitusi baru, jika penduduk Mesir menyetujui konsitusi tersebut maka kekuatan legislatif akan langsung berpindah dari Mursi ke parlemen.
Yang menarik, draf final itu juga mencakup perubahan bersejarah di sistem pemerintahan Mesir. Dengan konstitusi tersebut, masa jabatan presiden dibatasi hingga dua periode atau delapan tahun saja. Ini berbeda dengan masa Mubarak yang bisa bercokol di kursinya hingga tiga dekade. Selain itu, diperkenalkan pula tingkatan kekeliruan dalam tindakan militer. "Ini konstitusi yang revolusioner," kata Ketua Parlemen Hossam el-Gheriyani.
Menjawab kekhawatiran rakyat akan kemungkinan Mursi muncul sebagai diktator baru di Mesir, kurang dari dua tahun setelah mereka menggulingkan Mubarak, Mursi mengatakan, semua akan berakhir setelah warganya memberi suara untuk konstitusi. "Tidak ada ruang untuk kediktatoran," janji Mursi di televisi pemerintah.
Sementara itu, kritik yang bermunculan menyebut bahwa draf tersebut telah dibajak dan disetir oleh kalangan Muslim yang mendukung Mursi dalam pemilihan Juni lalu.
Aktivis HAM Gamal Eid mengakui, memang ada sejumlah pasal yang pro-kebebasan dalam konstitusi yang baru. Namun demikian, ada juga pasal-pasal yang bisa menjadi bencana, misalnya pasal yang mencegah penghinaan. "Ini bisa digunakan untuk melawan jurnalis yang mengkritik presiden atau pejabat negara," katanya.
Legitimasi parlemen yang membuat draf konstitusi itu juga sudah dipertanyakan dan banyak yang menuntut agar parlemen dibubarkan. Tidak hanya itu, mundurnya sejumlah anggotanya termasuk dari perwakilan gereja dari minoritas Kristen dan liberal juga memperburuk penilaian terhadap lembaga itu.
"Kami ingin rakyat Mesir mendapat lebih banyak kebebasan dan lebih sedikit kekuatan presiden, kami tidak senang dengan hasil di persoalan-persoalan itu," kata Edward Ghaleb yang menjadi perwakilan gereja ortodoks Koptik di parlemen.
Melihat perkembangan yang terjadi, para pengamat tidak yakin referendum bisa dilaksanakan. "Pihak sekular, gereja, dan para hakim tidak senang dengan draf konstitusi yang ada, jurnalis juga tidak senang, jadi saya rasa ini hanya akan meningkatkan ketegangan di negara," terang Mustapha Kamal Al-Sayyid, seorang profesor Ilmu Politik di Universitas Kairo.
Lebih lanjut, dia mengatakan "Saya tidak tahu bagaimana pemungutan suara bisa dilakukan jika para hakimnya tidak suka."
Sementara itu, pemilihan parlemen baru tidak bisa digelar jika konstitusi tidak disetujui. Padahal sejak majelis rendahnya dibubarkan Juni lalu, Mesir tidak lagi memiliki badan pembuat undang-undang.
Setelah dektrit kontroversial Presiden Mohamed Mursi pekan lalu yang memperluas kekuasaannya dan melarang keputusannya ditentang pengunjuk rasa, konstitusi baru diharapkan bisa meredam demontrasi dan tindak kekerasan.
Konstitusi baru itu mencakup 234 pasal, termasuk di dalamnya tentang kekuasaan presiden, status Islam, peran militer, dan batasan hingga sejauh mana hak asasi manusia akan dihormati selepas era Presiden Hosni Mubarak. Draf itu juga menambahkan referensi Islam ke dalam sistem pemerintahan Mesir. Kendati begitu pasal lama yang menyebut prinsip syariah sebagai sumber utama dari perundang-undangan dipertahankan dalam konstitusi baru.
Draf konstitusi itu rencananya diratifikasi Mursi, Sabtu (1/12). Pengesahan konstitusi itu tentu saja secara otomatis membatalkan dektrit kontroversial yang telah diumumkan sebelumnya. Setelah itu, referendum pun bisa segera digelar.
Dalam waktu 15 hari, Presiden Mesir harus mengumumkan dilakukannya pemungutan suara. Sesuai dengan pasal yang ada di konstitusi baru, jika penduduk Mesir menyetujui konsitusi tersebut maka kekuatan legislatif akan langsung berpindah dari Mursi ke parlemen.
Yang menarik, draf final itu juga mencakup perubahan bersejarah di sistem pemerintahan Mesir. Dengan konstitusi tersebut, masa jabatan presiden dibatasi hingga dua periode atau delapan tahun saja. Ini berbeda dengan masa Mubarak yang bisa bercokol di kursinya hingga tiga dekade. Selain itu, diperkenalkan pula tingkatan kekeliruan dalam tindakan militer. "Ini konstitusi yang revolusioner," kata Ketua Parlemen Hossam el-Gheriyani.
Menjawab kekhawatiran rakyat akan kemungkinan Mursi muncul sebagai diktator baru di Mesir, kurang dari dua tahun setelah mereka menggulingkan Mubarak, Mursi mengatakan, semua akan berakhir setelah warganya memberi suara untuk konstitusi. "Tidak ada ruang untuk kediktatoran," janji Mursi di televisi pemerintah.
Sementara itu, kritik yang bermunculan menyebut bahwa draf tersebut telah dibajak dan disetir oleh kalangan Muslim yang mendukung Mursi dalam pemilihan Juni lalu.
Aktivis HAM Gamal Eid mengakui, memang ada sejumlah pasal yang pro-kebebasan dalam konstitusi yang baru. Namun demikian, ada juga pasal-pasal yang bisa menjadi bencana, misalnya pasal yang mencegah penghinaan. "Ini bisa digunakan untuk melawan jurnalis yang mengkritik presiden atau pejabat negara," katanya.
Legitimasi parlemen yang membuat draf konstitusi itu juga sudah dipertanyakan dan banyak yang menuntut agar parlemen dibubarkan. Tidak hanya itu, mundurnya sejumlah anggotanya termasuk dari perwakilan gereja dari minoritas Kristen dan liberal juga memperburuk penilaian terhadap lembaga itu.
"Kami ingin rakyat Mesir mendapat lebih banyak kebebasan dan lebih sedikit kekuatan presiden, kami tidak senang dengan hasil di persoalan-persoalan itu," kata Edward Ghaleb yang menjadi perwakilan gereja ortodoks Koptik di parlemen.
Melihat perkembangan yang terjadi, para pengamat tidak yakin referendum bisa dilaksanakan. "Pihak sekular, gereja, dan para hakim tidak senang dengan draf konstitusi yang ada, jurnalis juga tidak senang, jadi saya rasa ini hanya akan meningkatkan ketegangan di negara," terang Mustapha Kamal Al-Sayyid, seorang profesor Ilmu Politik di Universitas Kairo.
Lebih lanjut, dia mengatakan "Saya tidak tahu bagaimana pemungutan suara bisa dilakukan jika para hakimnya tidak suka."
Sementara itu, pemilihan parlemen baru tidak bisa digelar jika konstitusi tidak disetujui. Padahal sejak majelis rendahnya dibubarkan Juni lalu, Mesir tidak lagi memiliki badan pembuat undang-undang.
Posting Komentar